Dinda Qoernia

TANPAMU AKU KOSONG SAHABATKU

Pages

Wahai Guru yg sangat berjasa
Yang telah mengajar kita semua
Kasih sayang tulus dari dirinya
Yang tak mungkin akan terlupa

Engkau adalah pahlawan tanpa jasa
Dengan pelajaranmu yang tak sia-sia
Kau mengajarkan ilmu yang sesungguhnya
Bersamamu adalah saat penuh makna

Wahai Guru, nasihatmu takkan pernah kulupa
Walau kita takkan selamanya bersama
Aku akan tetap berusaha
Agar dapat membuatmu bangga

at 2:06 AM Posted by Qoer 0 Comments

       Liburan tahun ini, aku dan keluargaku pulang ke kampung halaman mama. Kami menginap di rumah tempat mama dilahirkan. Rumah yang sangat besar dan tua itu kini hanya di tempati oleh seorang kakek penjaga rumah.
       Sebenarnya aku sudah pernah mengunjungi rumah itu. Tapi, waktu itu aku masih kecil, jadi aku tidak ingat jelas keadaan rumah waktu itu. Maka dari itu, sepanjang liburan kali ini aku mendapat pengalaman yang seru dan baru bagiku.
       Sore itu, aku dimarahi habis-habisan oleh mama. Karena menurutnya aku terlalu banyak mengeluh soal rumah itu. Maklum, selain lembab, banyak nyamuk dan kecoa, serta serangga lainnya, juga terlalu seram bagiku. Aku tidak sadar bahwa keluh kesahku itu menyakiti hati mama, karena mama sangat mencintai rumah itu.
       Karena sedih dimarahi mama, aku menyendiri di perpustakaan keluarga yang tak kalah lembab dan tua. Buku-bukunya sudah menguning, ada yang rusak dan baunya minta ampun.
       Aku duduk di kursi goyang berukir yang masih kokoh. Kupandangi foto keluarga hitam putih yang hampir pudar, dibawah figura itu tertulis, "kembalilah bila kalian lelah, rumah ini akan mencerahkan jiwamu."
       "Kembalilah bila kalian lelah, rumah ini akan mencerahkan jiwamu," kugumamkan kalimat itu berkali-kali. Mungkinkah  mama juga sedang lelah, sehingga dia kembali ke rumah ini? Yah, kadang mama memang ke rumah ini sendirian. Mungkin banyak hal menyenangkan yang mama alami di rumah ini.
       "Rose! Kamu belum menyelesaikan buku tipis itu? Waktumu sudah habis! Sekarang jawab pertanyaan bapak!" Tiba-tiba aku melihat pemandangan seorang lelaki separuh baya sedang membentak seorang gadis kecil kurus berkacamata.
       Kemudian, lelaki tersebut menyodorkan banyak pertanyaan seputar isi buku tipis itu. Bila jawaban gadis itu salah, maka telapak tangannya akan mendapat satu pukulan penggaris kayu. Adegan didepanku itu pun berakhir. Ku terdiam, mengambil nafas panjang. Tubuhku kaku dan aku tak dapat bergerak. Mulutku seperti terkunci.
       "Rose!" Gadis itu bernama Rose. Bukankah itu nama mamaku? Belum lagi rasa penasaranku hilang, pintu perpustakaan tiba-tiba terbuka. Gadis kecil itu masuk, lalu merapikan buku-buku dalam rak. "Rose, ayo ketik!!" Lelaki muda memasuki perpustakaan sambil membawa mesin ketik serta kertas.
       Rose menurut. Si lelaki muda yg di panggil kakak itu hanya duduk santai sambil mengoceh. Sedangkan Rose, si gadis kecil berkacamata itu sibuk mengetik apa yang di ucapkan kakaknya. Dan adegan itu di akhiri dengan si gadis kecil berkacamata yang sibuk meniup ujung jarinya yang mungkin terasa panas dan sakit. Kemudian, ia tertidur di atas sofa karena kelelahan. Aku masih tidak dapat bergerak. Aku yakin, aku sedang tidak bermimpi karena aku tidak tidur. Tapi mengapa aku tak bisa menggerakkan tubuhku dan berteriak memanggil mama?
       Lagi-lagi aku melihat si gadis kecil itu. Kli ini dia menangis sambil menatap buku yang terbuka di hadapannya. Di sisinya ada seorang perempuan muda sibuk memarahinya. "Inikan, hitungan mudah! Sudah berkali-kali kuajari, masa tetap saja nggak bisa,sih? Kalau kamu nggak rajin belajar, bagaimana dengan masa depanmu nanti?" Setelah puas dengan amarahnya, perempuan itu pergi begitu saja.
       Si gadis kecil itu masih menangis tersedu-sedu. Entah mengapa dadaku ikut sesak menyaksikan adegan itu. Belum kering air matanya, si kakak yang suka mengoceh itu datang dan minta di pijatin kakinya. Lagi-lagi adegan itu lama sekali, di selingi dengan umpatan marah bila pijatan tangan gadis kecil itu kurang kuat.
      Tiba-tiba, dup..! Perpustakaan itu mendadak gelap. Mungkinkah mati lampu? Ah tidak, karena tiba-tiba ruangan itu kembali terang, menerangi beberapa orang yang terliht tegang. "Bagian Satria adalah tanah dan rumah ini. Bagian Tari adalah sawah. Kebun jati untuk Intan. Kebun tembakau untuk Hana. Dan untuk Rose..."
      Ah, pemandangan kali ini memperlihatkan si gadis kecil itu sudah menjadi gadis remaja yang cantik. Meski masih berkacamata, ia tampak anggun dan cerdas. Ia menatap bapaknya yang sudah terlihat tua dan sakit. "Bagianmu sudah kutitipkan kepada seorang rektor di sebuah universitas. Cukup untuk kuliah dan biaya hidupmu, sampai kamu lulus. Kamu harus menyelesaikan kuliahmu tepat waktu, jika tak ingin kehabisan uang. Kamu satu-satunya harapanku."
      Rose tersenyum, lalu mengangguk. Kali ini aku yakin bahwa dialah mamaku. Aku bisa mengenalinya dari senyumannya yng lembut. "Apa yang kamu lakukan disini, Clara?" Tiba-tiba terdengar suara menyapaku. Dengan segera aku memeluk mamaku dan meminta maaf kepadanya tentang rumah ini. "Kamu kenapa sayang?" Tanya mama bingung. "Mama, aku tahu dulu mama menderita saat kecil. Mama selalu di hukum kakek dan di marahi oleh saudara mama. Tpi, mama tetap sabar hingga kini mama menjadi yang tersukses di antara mereka."
      Mama menitikkan air mata dan memelukku. "Itulah sebabnya kenapa mama sangat mencintai rumah ini." Pengalaman kali ini telah menyadarkanku untuk mulai memperbaiki diri dan tidak menjadi anak yang cengeng dan manja lagi.

Karya: Zahratul Mardyah

Monday, November 21, 2011

GURU

Wahai Guru yg sangat berjasa
Yang telah mengajar kita semua
Kasih sayang tulus dari dirinya
Yang tak mungkin akan terlupa

Engkau adalah pahlawan tanpa jasa
Dengan pelajaranmu yang tak sia-sia
Kau mengajarkan ilmu yang sesungguhnya
Bersamamu adalah saat penuh makna

Wahai Guru, nasihatmu takkan pernah kulupa
Walau kita takkan selamanya bersama
Aku akan tetap berusaha
Agar dapat membuatmu bangga

Liburan Di Rumah Tua

       Liburan tahun ini, aku dan keluargaku pulang ke kampung halaman mama. Kami menginap di rumah tempat mama dilahirkan. Rumah yang sangat besar dan tua itu kini hanya di tempati oleh seorang kakek penjaga rumah.
       Sebenarnya aku sudah pernah mengunjungi rumah itu. Tapi, waktu itu aku masih kecil, jadi aku tidak ingat jelas keadaan rumah waktu itu. Maka dari itu, sepanjang liburan kali ini aku mendapat pengalaman yang seru dan baru bagiku.
       Sore itu, aku dimarahi habis-habisan oleh mama. Karena menurutnya aku terlalu banyak mengeluh soal rumah itu. Maklum, selain lembab, banyak nyamuk dan kecoa, serta serangga lainnya, juga terlalu seram bagiku. Aku tidak sadar bahwa keluh kesahku itu menyakiti hati mama, karena mama sangat mencintai rumah itu.
       Karena sedih dimarahi mama, aku menyendiri di perpustakaan keluarga yang tak kalah lembab dan tua. Buku-bukunya sudah menguning, ada yang rusak dan baunya minta ampun.
       Aku duduk di kursi goyang berukir yang masih kokoh. Kupandangi foto keluarga hitam putih yang hampir pudar, dibawah figura itu tertulis, "kembalilah bila kalian lelah, rumah ini akan mencerahkan jiwamu."
       "Kembalilah bila kalian lelah, rumah ini akan mencerahkan jiwamu," kugumamkan kalimat itu berkali-kali. Mungkinkah  mama juga sedang lelah, sehingga dia kembali ke rumah ini? Yah, kadang mama memang ke rumah ini sendirian. Mungkin banyak hal menyenangkan yang mama alami di rumah ini.
       "Rose! Kamu belum menyelesaikan buku tipis itu? Waktumu sudah habis! Sekarang jawab pertanyaan bapak!" Tiba-tiba aku melihat pemandangan seorang lelaki separuh baya sedang membentak seorang gadis kecil kurus berkacamata.
       Kemudian, lelaki tersebut menyodorkan banyak pertanyaan seputar isi buku tipis itu. Bila jawaban gadis itu salah, maka telapak tangannya akan mendapat satu pukulan penggaris kayu. Adegan didepanku itu pun berakhir. Ku terdiam, mengambil nafas panjang. Tubuhku kaku dan aku tak dapat bergerak. Mulutku seperti terkunci.
       "Rose!" Gadis itu bernama Rose. Bukankah itu nama mamaku? Belum lagi rasa penasaranku hilang, pintu perpustakaan tiba-tiba terbuka. Gadis kecil itu masuk, lalu merapikan buku-buku dalam rak. "Rose, ayo ketik!!" Lelaki muda memasuki perpustakaan sambil membawa mesin ketik serta kertas.
       Rose menurut. Si lelaki muda yg di panggil kakak itu hanya duduk santai sambil mengoceh. Sedangkan Rose, si gadis kecil berkacamata itu sibuk mengetik apa yang di ucapkan kakaknya. Dan adegan itu di akhiri dengan si gadis kecil berkacamata yang sibuk meniup ujung jarinya yang mungkin terasa panas dan sakit. Kemudian, ia tertidur di atas sofa karena kelelahan. Aku masih tidak dapat bergerak. Aku yakin, aku sedang tidak bermimpi karena aku tidak tidur. Tapi mengapa aku tak bisa menggerakkan tubuhku dan berteriak memanggil mama?
       Lagi-lagi aku melihat si gadis kecil itu. Kli ini dia menangis sambil menatap buku yang terbuka di hadapannya. Di sisinya ada seorang perempuan muda sibuk memarahinya. "Inikan, hitungan mudah! Sudah berkali-kali kuajari, masa tetap saja nggak bisa,sih? Kalau kamu nggak rajin belajar, bagaimana dengan masa depanmu nanti?" Setelah puas dengan amarahnya, perempuan itu pergi begitu saja.
       Si gadis kecil itu masih menangis tersedu-sedu. Entah mengapa dadaku ikut sesak menyaksikan adegan itu. Belum kering air matanya, si kakak yang suka mengoceh itu datang dan minta di pijatin kakinya. Lagi-lagi adegan itu lama sekali, di selingi dengan umpatan marah bila pijatan tangan gadis kecil itu kurang kuat.
      Tiba-tiba, dup..! Perpustakaan itu mendadak gelap. Mungkinkah mati lampu? Ah tidak, karena tiba-tiba ruangan itu kembali terang, menerangi beberapa orang yang terliht tegang. "Bagian Satria adalah tanah dan rumah ini. Bagian Tari adalah sawah. Kebun jati untuk Intan. Kebun tembakau untuk Hana. Dan untuk Rose..."
      Ah, pemandangan kali ini memperlihatkan si gadis kecil itu sudah menjadi gadis remaja yang cantik. Meski masih berkacamata, ia tampak anggun dan cerdas. Ia menatap bapaknya yang sudah terlihat tua dan sakit. "Bagianmu sudah kutitipkan kepada seorang rektor di sebuah universitas. Cukup untuk kuliah dan biaya hidupmu, sampai kamu lulus. Kamu harus menyelesaikan kuliahmu tepat waktu, jika tak ingin kehabisan uang. Kamu satu-satunya harapanku."
      Rose tersenyum, lalu mengangguk. Kali ini aku yakin bahwa dialah mamaku. Aku bisa mengenalinya dari senyumannya yng lembut. "Apa yang kamu lakukan disini, Clara?" Tiba-tiba terdengar suara menyapaku. Dengan segera aku memeluk mamaku dan meminta maaf kepadanya tentang rumah ini. "Kamu kenapa sayang?" Tanya mama bingung. "Mama, aku tahu dulu mama menderita saat kecil. Mama selalu di hukum kakek dan di marahi oleh saudara mama. Tpi, mama tetap sabar hingga kini mama menjadi yang tersukses di antara mereka."
      Mama menitikkan air mata dan memelukku. "Itulah sebabnya kenapa mama sangat mencintai rumah ini." Pengalaman kali ini telah menyadarkanku untuk mulai memperbaiki diri dan tidak menjadi anak yang cengeng dan manja lagi.

Karya: Zahratul Mardyah

.

    Search

    Followers

    Lorem ipsum